Penayangan bulan lalu

Senin, 02 Juli 2018

Belajar Merajang Tembakau yang Tidak Sukses :D

A very very late post. Ketiga pria kekar ini bukanlah bodyguard saya. Mereka bertiga adalah warga desa yang tinggal di dekat Candi Jabung Probolinggo yang bekerja sebagai perajang tembakau dan kebetulan mereka beraktifitas tepat di samping rumah yang saya tinggali waktu itu.

Foto Eva Nurma.Penasaran....akhirnya saya pun ikut mencoba merajang dan wow....ternyata susyeh karena kedua tangan harus bekerja ekstra. Tangan kiri menekan tembakau agar masuk ke pisau rajang dan tangan kanan yang merajangnya. Berhubung pemula, tak satupun tembakau yang berhasil saya rajang karena ternyata tangan kiri saya kurang menekan. Walhasil tertawaan dan cercaan pun mendarat dengan sukses :D. Ya sudahlah...belum sukses merajang, saya lanjut bagian naruh tembakau ke "harley" (entah apa nama bakunya). Setelah penuh dan berat, tentunya, saya usung dengan hati-hati karena jalan agak gelap, ke lokasi penjemuran. Di sana ternyata sudah ada beberapa ibu yang memang berperan sebagai yang menata tembakau di atas anyaman bambu. Lagi-lagi saya pun mencoba dan ternyata tidak semudah yang saya bayangkan karena hasil tatanan saya dinilai kurang merata alias masih banyak yang bergerombol. Kalau sudah begitu, tembakau akan lebih lama keringnya. Saya mencoba berkali-kali, sampai saya ureh-ureh karena penasaran dengan hasilnya. 

Kami bekerja ditemani cuaca malam yang cerah sambil bersenda gurau. Ah...rasanya saya ingin kembali ke masa ratusan tahun silam dan menjadi bagian dari sejarah dimana nenek moyang mereka dari Madura datang ke tanah Jawa untuk dijadikan buruh perkebunan tembakau oleh penjajah dulu.


Minggu, 01 Juli 2018

Menjelang Detik-detik Waisak

Bekerja di Unit Pengelolaan Informasi Majapahit atau yang biasa disebut sebagai Museum Majapahit Trowulan memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Siang itu saya berkesempatan mendampingi salah satu tamu Mahavihara Majapahit Trowulan yang bernama Lama Jigdrel Samten yang berkebangsaan Spanyol. Beliau diantar oleh pak Narto salah satu pengurus Yayasan Lumbini. Lama Jigdrel sangat menikmati jalan-jalan nya di Trowulan terutama di PIM karena banyak koleksi yang membuat tergelitik untuk bertanya. Beliau tertarik dengan Arca Camundi dan penasaran dengan Raja Kertanegara sang penganut Tantra yang waktu itu berseteru dengan Kubilai Khan. 

Di sela-sela perbincangan, kami berpapasan dengan sekelompok turis mancanegara yang sepuh-sepuh. Mereka sepertinya rasan-rasan dan memandang Lama Jigdrel dengan takjub. Mungkin mereka kaget dan heran ada biksu berkulit putih. Dan yang membuat saya terkesima adalah ketika salah satu dari turis tersebut kemudian datang kepada Lama, mencopot sepatunya lalu bersimpuh dan menyentuh kaki beliau untuk memperoleh berkat. Lama Jigdrel penganut Tantra Tibet. Jadi beliau tidak disebut dengan Biksu tapi Lama yang artinya guru (jadi ingat Dalai Lama ya dan juga film Seven Years in Tibet). Ketika berpamitan, saya spontan mengatakan Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta sambil menaruh tangan di depan dada dengan harapan saya juga mendapat doa dari beliau. 


Bagi saya meminta doa itu bisa kepada siapa saja asal beliau orang baik dan taat beribadah meskipun dari agama yang berbeda. Saya hanya ingin doa kebaikan secara universal. Bukankah semua agama mengajarkan kita tentang kebaikan? Belakangan saya baru mengetahui ternyata kalimat tersebut tidak ada dalam Tantra Tibet yang dianut Lama Jigdrel karena Sabbe Satta lazim diucap oleh aliran Theravada. Maapkeun saya yang kemeruh ini, Lama hehehehe. Beberapa minggu berselang, saya dan Lama masih berkomunikasi lewat WA. Beliau masih suka menanyakan apakah saya baik-baik saja setelah beliau mengirim doa malam itu tepat jam 8 malam ketika beliau berada di Bali. Berkomunikasi dengan beliau, saya selalu membayangkan damainya Tibet dengan gunung-gunungnya itu. "Happy Vesak Day, Lama", itu ucapan WA saya tadi pagi kepada beliau